Sabtu, 07 Januari 2012

The Masterpiece

Valentino Rossi Sabtu lalu menerbitkan buku baru yang berjudul “The Masterpiece”. Aslinya buku ini terbit dalam bahasa Italia (pastinya lah yaw) yang judulnya Il Capolavoro. Ini adalah buku kedua The Doctor setelah tahun 2005 ia menerbitkan buku otobiografi yang berjudul Pensa se non ci avessi provato? (What if I Had Never Tried It?). Kedua buku ini sama-sama ditulis oleh Enrico Borghi. Namun ada perbedaan di antara keduanya.
13222051531895021528
Buku pertama menitikberatkan pada kehidupan Rossi ketika di Honda dan ketika pindah ke Yamaha dengan flash back kehidupan dia sebelum balapan. Sementara buku kedua menitikberatkan kiprah Rossi selama di Yamaha dan latar belakang kepindahannya ke Ducati. Tentu yang diceritakan adalah kisah-kisah yang tak diumbar media dan berdasarkan sumber dari Rossi sendiri, Masao Furusawa, Jeremy Burgess, Davide Brivio dan orang-orang yang ikut serta mendampingi Rossi di rentang tahun 2004-2010.
Pada peluncuran The Masterpiece di Bologna, Italia hadir Davide Brivio yang saat ini menjadi manager pribadi Rossi dan tentu saja penulisnya. Rossi tak hadir karena sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti rally Monza akhir pekan ini.
Saya belum tahu pasti bagaimana isi buku ini, karena di Indonesia belum ada. Namun dari berita di GP One saya bisa mengintip sedikit isi bukunya. Masao Furusawa sebenarnya merasa sedikit nervous ketika Rossi menyetujui pindah ke Yamaha dari Honda. Saat itu dia bilang bahwa jika Rossi menang dengan Yamaha maka itu akan jadi kredit tersendiri untuknya, tapi jika Rossi kalah maka kesalahan ada di pihak Yamaha.
Akhirnya kekhawatiran itu tak terjadi memang karena Rossi mendominasi MotoGP dengan titel juaranya. Lalu kenapa di Ducati ia tak bisa berbuat hal yang sama? Seperti kita tahu banyak sebab yang membuat Rossi keteter ketika menunggang Ducati.
Davide Brivio menjelaskan 2 hal yaitu faktor Casey Stoner dan Ban Bridgestone. Stoner cepat dan memiliki kemampuan untuk mendapatkan hasil maksimal dari motor yang ia naiki tapi Stoner tidak seperti Rossi yang memahami apa yang dibutuhkan dan apa yang harus dilakukan pada sebuah motor.
Terus soal ban, dulu tim bisa berbuat banyak pada set up ban dan membuatnya lebih fleksibel tapi sekarang hanya pabrikan Jepang yang bisa melakukannya dengan lebih baik. Tapi Davide memastikan bahwa seluruh tim bekerja dengan gairah yang sama, semangat yang sama dan komitmen yang sama di Ducati. Rossipun tak berhenti mengasah kemampuannya.
Jadi ada yang berani bilang bahwa masa Rossi sudah habis? Ayo berhadapan sama saya… berhadapan makan mie ayam sama-sama saya maksudnya sambil menunggu buku The Masterpiece edisi Bahasa Indonesia tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar